Sebuah Renungan:
AKU DAN RAMADLAN
Oleh: Ahmad Ahid, Lc, MSI
Tidak terasa, satu tahun sudah berlalu. Waktu serasa cepat berjalan.
Aku merasa ‘merdeka’ ketika lepas dari Ramadlan. Bukan merdeka yang merupakan hasil
sebuah perjuangan, namun merdeka dalam arti bebas berbuat apa saja, kapan saja dan
di mana saja. Ramadlan bagiku seperti penjara yang menjeruji seluruh keinginanku.
Aku tidak bebas, aku tidak lepas dan aku tidak puas.
Aku belum merasa menikmati Ramadlan, kecuali hanya ketertekanan,
keterpaksanaan dan keberatan. Ketika Shalat Tarawih, yang ada adalah kegundahan
hati. Pikiranku sering melayang tak karuan, apalagi ketika shalat di belakang
imam yang bacaan suratnya panjang. Rasanya ingin lari keluar dari shaf shalat. Belum
lagi rasa kantuk yang terus menggelayuti mataku. Duh, YaRabb, kenapa aku jadi begini?
Ada apa dengan diriku?
Ketika aku memegang al-Qur’an, muncul perasaan malas dan ketidaksanggupan
membacanya ayat demi ayat, padahal Allah SWTmenjanjikan pahala yang besar bagi pembacanya,
terutama di Bulan Ramadlan. Setiap aku memegangnya, tanganku terasa berat membukanya.
Ketika sudah membaca, muncul bisikan untuk mencukupkan bacaan, padahal aku ingin
mengkhatamkannya.
Saat hartaku berlebih, aku enggan untuk memberikannya sebagai
sedekah atau zakat kepada mereka yang membutuhkan. Masih ada dalam hati rasa saying
kepada hartaku, padahal aku tahu, harta itu titipan Allah SWT yang
memerintahkan untuk memberikan sebagiannya kepada yang berhak menerimanya. Aku masih
merasa harta itu hasil jerih payahku, hasilkerja dan usahaku.
Ketika berpuasa dan aku merasa lapar dan dahaga, kadang muncul
bisikan untuk membatalkannya, apalagi saat aku sendiri tanpa siapa-siapa. Toh,
tidak ada yang tahu kalau aku tidak puasa. Namun aku tidak berani, aku masih punya
Allah SWT Dan Allah SWT melihat setiap perbuatanku. Aku pun tidak mau membatalkan
puasa dengan sengaja tanpa udzur, karena takut kafarat dan membayarnya setelah Ramadlan.
Tetapi perasaan itu, selalu muncul dalam hatiku.
Aku harus segera berbenah. Aku harus segera bangkit. Aku harus
melakukan perbaikan diri. Aku harus mulai sadar bahwa puasa tidak hanya perintah
Allah SWT, tapi ia adalah sesuatu yang aku butuhkan untuk menjadikan diriku berkualitas.
Kualitas keimananku kepada Allah SWT dan
kualitas sosialku kepada sesama. Aku harus segera tahu bahwa Ramadlan Allah SWT
sediakan untukku untuk menjadikan diriku menjadi pribadi yang bertakwa, sebab takwa
adalah puncak kebaikan dan ketinggian kepribadian.
Allah SWT berfirman:
ولكن البر من اتقى
(البقرة : 189)
Artinya: Dan tetap ial-birr
(kebaikan) itu adalah orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 189)
Aku tidak mau terulang lagi Ramadlanku
seperti tahun lalu. Aku tidak mau Ramadlanku berlalu bersama waktu dan aku hanya
terpaku meratapi diriku yang tidak menentu. Aku ingin Ramadlanku tahun ini begitu
bermakna bagiku, begitu berarti bagi diriku, begitu berguna bagi hidupku,
duniaku dan akhiratku. Ya Allah, berikan kekuatan kepadaku untuk menjalani puasa
ini dengan sepenuh keimanan dan harapan ridla-Mu. Aku ingin maghfirah-Mu.
Aku ingat sabda Rasul-Mu:
من صام رمضان
إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه (رواه البخاري)
Artinya: Barang siapa yang berpuasa Ramadlan
dengan keimanan dan mengharapkan ridla Allah maka akan diampuni dosanya yang
telah lalu (HR. Bukhari)
0 komentar:
Posting Komentar